PENGARUH BERBAGAI SPESIES MURBEI (Morus sp)
SEBAGAI PAKAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.)
TERHADAP PRODUKSI KOKON
PROPOSAL
TUGAS AKHIR (TA)
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Tugas Akhir Di Politeknik Negeri Jember Jurusan Manajemen Agroindustri Program Studi Manajemen Agribisnis
Disusun oleh :
RIKI SONDARI
K40506 12
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2010
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi benang sutera Indonesia belum mencukupi kebutuhan. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlukan upaya peningkatan produksi kokon dan benang sutera yang berasal dari hasil pemeliharaan ulat sutera. Makanan ulat sutera adalah daun murbei. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh produksi kokon yang maksimal serta benang sutera sesuai dengan target yang ditetapkan adalah pengembangan tanaman murbei yang baik untuk pakan ulat sutera. Salah satu kendala bagi usaha tani persuteraan alam di Indonesia pada umumnya adalah produktivitas kebun murbei yang relatif masih rendah, yaitu ± 8 ton/ha/th (Sulthoni, 1981).
Murbei (Morus sp) adalah salah satu jenis tanaman yang tergolong dalam famili moraceae yang daunnya digunakan sebagai bahan makanan ulat sutera (Bombyx mori L.) yaitu spesies serangga penghasil benang sutera yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman murbei banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis pada daerah sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 210 - 250C. Katsumata (1964), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
Tanaman murbei tidak menuntut persyaratan ketinggian tertentu, sebab ketinggian berapapun murbei bisa tumbuh. Tanaman murbei dapat tumbuh didaerah tropis dan subtropis. Beberapa tempat di Indonesia banyak ditemukan murbei tumbuh secara liar. Ulat sutera lebih cocok berkembang baik ditempat beriklim sejuk, sehingga murbei paling ideal ditanam dengan ketinggian berkisar 400-800 di atas permukaan laut. Nazarudin dan Nurcahyo (1992).
Ulat sutera Bombyx mori L. merupakan hasil usaha tani persuteraan alam masyarakat pedesaan yang turut berperan dalam menunjang pembangunan nasional. Untuk lebih memberdayakan usaha tersebut diperlukan suatu perangkat yang dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas kokon, sehingga pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sutera.
Ulat-ulat sutera yang telah mengalami pergantian kulit empat kali dan makan daun murbei cukup, maka kelenjar suteranya tumbuh menjadi besar dan isi badannya sebagian besar tediri atas kelenjar tersebut. Karena itu, badan ulat sutera tembus cahaya dan dari mulutnya mulai mengeluarkan serat sutera. Ulat sutera yang demikian dikatakan sebagai ulat sutera yang siap mengokon. Katsumata (1964), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
Kokon ulat sutera merupakan pelindung pupa yanmg terbuat dari serat-serat sutera yang dijalin oleh larva bila hendak membentuk kepongpong atau pupa. Agar pengokonan berjalan dengan baik, ulat perlu disediakan tempat khusus sebagai tempat menempelnya kokon.
Produksi benang sutera Indonesia belum mencukupi kebutuhan. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlukan upaya peningkatan produksi kokon dan benang sutera yang berasal dari hasil pemeliharaan ulat sutera. Makanan ulat sutera adalah daun murbei, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh mutu kokon segar yang maksimal serta benang sutera sesuai dengan target yang ditetapkan adalah dengan pemberian pakan yang baik.
Salah satu cara memperoleh produksi kokon berkualitas baik adalah dengan pengaturan suhu dan kelembaban ruangan pemeliharaan sesuai dengan pertumbuhan ulat, pemberian daun murbei yang berkualitas baik dan jumlah yang cukup serta melaksanakan desinfeksi ruangan dan peralatan pemeliharaan. Hatta dkk (1980), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
1.2 Rumusan Masalah
Daun murbei merupakan satu-satunya pakan ulat suter Bombyx mori L. Saat ini sudah di dapatkan beberapa varietas murbei yang baik untuk pakan ulat sutera diantaranya: Morus alba var. Kanva-2, M. Multicaulis, M. Cathayana, M. Alba. Var, Kakuso dan masih banyak lagi varietas murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutra. Penelitian yang mengarah pada Pengaruh Berbagai Spesies Murbei (Morus spp) Sebagai Pakan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Terhadap Produksi Kokon dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah pemberian daun murbei spesies multicaulis sebagai pakan ulat sutera akan meningkatkan produksi kokon?
2. Apakah pemberian daun murbei spesies cathayana sebagai pakan ulat sutera akan meningkatkan produksi kokon?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian Tugas Akhir ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh pemberian pakan spesies Multicaulis terhadap produksi kokon yang dihasilkan.
2. Mengetahui pengaruh pemberian pakan spesies Kanva terhadap produksi kokon yang dihasilkan.
3. Mengetahui pengaruh pemberian pakan campuran terhadap produksi kokon yang dihasilkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian Tugas Akhir ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi pengembangan ilmu pengetahuan bagi petani sutera dan mayarakat pada umumnya untuk memperoleh produksi kokon yang maksimal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Samsijah dan Kusumaputra (1976), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000), meneliti pengaruh pemberian pakan terhadap ulat kecil dan ulat besar, dengan daun dari jenis berbeda (Morus. alba, M. cathayana dan M. multicaulis) terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon. M. alba mempunyai kadar protein tertinggi pada daun muda (18,66%), maupun daun tua (17,59%), disbanding dengan jenis lain, sedangkan kandungan karbohidrat tertinggi ada pada M. cathayana yaitu (56,18%) pada daun muda dan ( 63,14%) ada pada daun tua. Pemberian pakan M. alba pada ulat kecil dan M. multicaulis pada ulat besar, memberikan rendemen pemeliharaan tertinggi dan mutu kokon yang cukup baik.
Saranga dkk (1992), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000), melakukan percobaan tentang pengaruh jenis pakan kepada produksi kokon di Laboraturium pemeliharaan ulat sutera, Balai Persuteraan Alam Bili-bili, Sulawesi Selatan.
Ke empat jenis daun yang diberikan diantaranya : M. multicaulis, M. alba, M. cathayana dan M. nigra, pada ke dua ras percobaan, yaitu F1 dari ras Jepang dan ras Bili-bili (BN) dan ras China dan Bili-bili (BC), tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva, bobot kokon, maupun prosentase kulit kokon, namun ternyata M. multicaulis dan M. alba mempengaruhi mutu serat, yaitu menghasilkan serat kokon yang panjangnya masing-masing 1.172,33 m dan 1.125,30 m.
Menurut Sumardjito dan Suhartadi (1987), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000). Dalam penelitian dipakatto, Bili-bili, Sulawesi Selatan, murbei BNK Rajawali, M. nigra dan M. australis mempunyai sifat-sipat unggul dalam hal daya tahan tumbuh stek, perkembangan akar dan pertumbuhan stek, akan tetapi produksi daun M. alba, M. Cathayana dan M. multicaulis ternyata jauh lebih baik dari jenis-jenis lain. (BNK: B = Bili-bili; N = Nigra; K = kokuso).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Murbei (Morus sp)
a) Ciri Morfologi
Tumbuhan murbei termasuk kedalam famili Moraceae, Ordo Urticales, Kelas Dicociledonae, Subdivisi Agiospermae dan Divisi Spermatophyta. Tumbuhan murbei berhabitus perdu atau pohon, dengan tinggi 6-25 m. Morus macraura dapat mencapai tinggi 35 m, batang: hijau atau kelabu atau kecoklatan. Cabang-cabang tegak, mendatar atau menggantung, cabang banyak, batang bulat, warna hijau atau kelabu atau cokelat atau ungu, keluar dari ketiak daun. Daun-daun tunggal, letak daun pada cabang sepiral; berbentuk oval atau bulat atau bercangap atau berlekuk atau tidak, ujung meruncing atau membulat, tepi daun berigi atau beringgit; permukaan daun kasar atau agak kasar; permukaan daun mengkilap; tulang daun sebelah bawah tampak jelas. Bunga-bunga berumah satu (monoecious) atau dua (dioecious), mempunyai bunga jantan dan betina yang keduanya tersususn dalam untaian dan pada umumnya terpisah satu sama lain (unisexsual). Buah-buahan majemuk, waktun muda hijau dan setelah masak berwarna merah sampai ungu kehitaman. Anonim (2001).
Morus Multicaulis dikenal dengan nama “murbei multi” atau “murbei besar”. Berupa perdu, yang cepat besar dan tinggi. Warna batabang cokelat atau coklat kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedangkan pinggiran daun bergerigi.
Cabang tidak banyak paling antara 2-4 cabang saja. Setiap cabang cepat memanjang dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu stek baru ditanam, atau batangnya baru dipangkas. Buahnya jarang didapat pada cabang atas.
Sekarang banyak ditanam untuk makanan ulat, karena bentuk daunnya yang besar dan kecepatan tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan, bahwa pucuk-pucuknya mudah dan cepat sekali diserang hama serangga atau penyakit bakteri, virus atau jamur, sehingga bentuknya menggulung atau rusak. Atmosoedarjo, dkk (2000).
Menurut Katsumata (1972), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000). di jawa ada beberapa jenis murbei yang daunya baik untuk digunakan sebagai pakan ulat sutera, yaitu Morus. alba, M. nigra, M. cathayana, M. multicaulis dan M. australis. Sedang di Sulawesi Selatan murbei yang ditanam petani sutera pada umumnya jenis-jenis M. nigra dan M. australis.
Tabel. Hasil analisis proksimat berbagai jenis daun murbei
Jenis daun Persentase bahan kering
Kadar air Bahan kering Protein Kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Energi (kal/g)
Morus multicaulis
- Daun muda 74,64 25,36 21,99 3,70 12,56 51,85 9,90 4519
- Daun tua 75,13 24,87 19,66 5,09 16,86 44,32 14,05 3541
Morus kanva
- Daun muda 78,21 21,79 20,87 4,20 8,22 57,20 9,50 4663
- Daun tua 71,47 28,53 17,99 5,81 13,61 49,38 13,20 4153
Morus cathayana
- Daun muda 73,69 26,31 19,09 3,71 8,45 59,53 9,22 4406
- Daun tua 70,78 29,22 16,39 5,16 16,80 47,61 14,03 4246
Morus alba
- Daun muda 68,89 30,11 22,59 4,10 10,21 53,26 9,83 4502
- Daun tua 69,50 30,50 22,10 6,09 10,57 46,81 14,43 4282
Morus nigra
- Daun muda 71,19 28,81 22,83 4,24 11,68 51,04 10,22 4373
- Daun tua 67,62 32,38 15,71 6,15 11,69 51,73 14,71 4378
Dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Balitbangnak, Deptan
Tabel Kandungan vitamin 1) dan mineral 2) berbagai jenis daun murbei
Jenis daun Persentase bahan kering
Vitamin A ( mg %) Vitamin C
(mg %) Calcium
(%) Phosphor
(%)
Morus multicaulis
- Daun muda 2.480,92 12,90 1,55 0,46
- Daun tua 2.799,06 9,32 3,07 0,28
Morus kanva
- Daun muda 5.262,70 13,79 1,38 0,37
- Daun tua 4.598,49 14,62 2,24 0,25
Morus cathayana
- Daun muda 5.671,31 11,70 1,53 0,36
- Daun tua 5.736,85 13,37 2,99 0,33
Morus alba
- Daun muda 4.441,29 12,31 1,71 0,36
- Daun tua 3.705,23 12,73 2,98 0,31
Morus nigra
- Daun muda 4.477,56 14,70 1,88 0,36
- Daun tua 3.541,31 14,16 3,23 0,24
1) Dianalisis di Lab. Balitbang Gizi, Depkes
2) Dianalisis di Lab. Balitbangnak, Deptan
Tabel Komposisi 15 macam asam amino berbagai daun murbei (persentase dari bahan kering)
Jenis asam amino M. multicaulis M. kanva M. cathayana M. alba M. nigra
Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua
Aspartat 0,37 0,20 0,43 0,39 0,41 0,59 0,45 0,47 0,59 0,38
Threonin 0,29 0,18 0,21 0,23 0,32 0,32 0,36 0,34 0,30 0,24
Serin 0,18 0,12 0,18 0,16 0,14 0,23 0,16 0,21 0,02 0,21
Glutamat 0,73 0,54 0,67 0,60 0,58 0,76 0,64 0,75 0,81 0,52
Glisin 0,18 0,12 0,15 0,17 0,17 0,25 0,21 0,24 0,25 0,20
Alanin 0,36 0,33 0,32 0,26 0,28 0,35 0,31 0,32 0,38 0,26
Valin 0,40 0,34 0,16 0,18 0,22 0,31 0,29 0,28 0,34 0,20
Methionin 0,07 0,06 0,05 0,04 0,05 0,07 0,06 0,05 0,06 0,04
Isoleusin 0,15 0,10 0,11 0,12 0,16 0,22 0,18 0,20 0,21 0,18
Leusin 0,39 0,21 0,30 0,28 0,30 0,41 0,34 0,43 0,48 0,35
Tirosin 0,20 0,28 0,17 0,18 0,18 0,24 0,21 0,23 0,24 0,19
Fenilalanin 0,26 0,23 0,20 0,19 0,20 0,28 0,28 0,23 0,31 0,22
Histidin 0,11 0,09 0,08 0,07 0,09 0,12 0,11 0,11 0,13 0,12
Lisin 0,31 0,28 0,25 0,21 0,24 0,27 0,35 0,32 0,32 0,31
Arginin 0,25 0,21 0,20 0,19 0,20 0,22 0,26 0,25 0,29 0,22
Dianalisis di Laboratorium BPIHP, Bogor.
b) Syarat Tumbuh
Tanaman murbei tidak menuntut persyaratan ketinggian tertentu, sebab ketinggian berapapun murbei bisa tumbuh. Tanaman murbei dapat tumbuh didaerah tropis dan subtropis. Beberapa tempat di Indonesia banyak ditemukan murbei tumbuh secara liar. Ulat sutera lebih cocok berkembang baik ditempat beriklim sejuk, sehingga murbei paling ideal ditanam dengan ketinggian berkisar 400-800 di atas permukaan laut. Nazarudin dan Nurcahyo (1992).
Tanaman murbei tumbuh baik antara musim hujan dan musim kemarau. Daerah yang mempunyai temperatur 20-30 0C sangat cocok untuk pertumbuhan murbei dan akan berhenti pada temperatur 40 0C. Setiap 10-15 hari membutuhkan sekitar 50 mm air. Lahan sebaiknya dapat dialiri air karena hal ini akan bermanfaat terutama dimusim kemarau. Murbei pada daerah curah hujan antara 2500-3000 mm/tahun akan mengatasi masalah dalam hal pengairan. Penyinaran matahari yang cukup akan menghasilkan tanaman yang sehat.
Tanah yang ditanami harus cukup mensuplai udara, air dan makanan bahkan dalam lapisan yang paling dalam dimana akar dapat menjangkau. Tanah sebaiknya memiliki pH 6,2-7, teksturnya gembur dan mempunyai porositas yang baik kemampuan menahan air sehingga menghasilkan produktivitas tinggi Anonim (2001).
2.2.2 Ulat Sutera (Bombyx mori L)
a) Ciri Morfologi dan Siklus Hidup
Ulat sutera adalah anggota Famili Bombicidae, Ordo Lopidoptera, Kelas Insekta (heksapoda) dan Phylum Arthropoda.
Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu dimulai dari telur, ulat (larva), kepongpong (pupa) dan ngengat (imago). Bombyx mori L. tergolong endopterigota yaitu serangga yang perkembangan sayapnya terjadi di dalam badan dan fase pradewasa berbeda dengan fase dewasa, baik dalam prilaku, makanan maupun bentuknya. Samsijah (1992), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
Ngengat yang telah melakukan perkawinan akan menghasilkan telur berbentuk elips, panjang 1,2-1,5 mm, lebar 1,2 mm dan berat 0,5-0,7 mg.telur yang baru keluar berwarna kuning dan berangsur-angsur akan berubah menjadi warna abu-abu. Telur menetas menjadi larva setelah 9-10 hari. Larva yang baru menetas mempunyai banyak seta dipermukaan tubuhnya, warna tubuh umumnya hitam dan panjangnya sekitar 3 mm. Larva akan mengalami lima pergantian kulit dan akan berhenti makan selama 24 jam. Periode makan tersebut sering disebut instar. Ulat yang berumur 1-4 hari tegolong ulat instar I, setelah 2 hari panjang tubuh ulat akan menjadi 7 mm, permukaan tubuh mengkilat dan seta semakin kurang jelas. Setelah hari ke-3 ulat akan mengalami eksdisis (pergantian kulit) dan berhenti makan selama 24 jam. Ulat instar II (umur 5-8 hari), akan mempunyai panjang sekitar 8,0 mm dan berat 6,0 mg. Selanjutnya, ulat memasuki instar III (9-13 hari), panjang tubuh 15,0 mm, berat 35,0 mg dan warna ulat berangsur-angsur menjadi putih. Ulat instar IV (umur 13-17 hari) memiliki panjang 670-1062 mm dan berat 35,21 mg. Pada umur 19-26 hari (instar V) mempunyai panjang 70 mm dan berat maksimum 3527-4627 mg, setelah instar V akan berhenti makan dan warna kulit berubah menjadi transparan dan akan membentuk kokon. Kokon akan berubah menjadi pupa dan berkembang menjadi kupu (ngengat) dan akan menebus kokon dengan mengeluarkan zat perusak kokon.
b) Budidaya ulat Sutera
Pertumbuhan larva ulat sutera membutuhkan keadaan lingkungan tertentu. Makin tinggi tingkat perkembangan ulat, maka diperlukan temperatur dan kelembaban yang makin rendah. Ulat instar I tumbuh pada temperatur 20-28 0C dan kelembaban 85-90 %, ulat instar II tumbuh pada temperatur 26-28 0C dan kelembaban 85 %, ulat instar III tumbuh pada temperatur 24-26 0C dan kelembaban 75 %, ulat instar IV tumbuh pada temperatur 23-24 0C dan kelembaban 70 % dan ulat instar V tumbuh pada temperatur 22-23 0C dan kelembaban 70 %.
Kokon bibit akan berkembang baik jika temperatur terpelihara 23-24 0C dengan kelembaban 70-75 % diberi cahaya yang sangat gelap. Pupa tumbuh baik pada temperatur 23-25 0C dan kelembaban 70-80 %. Bila temperatur dan kelembaban rendah maka ulat tidak akan hidup dengan baik. Anonim (1984).
Pengaturan cahaya ruang pemeriharaan sangat penting karena ulat sutera tidak menyukai keadaan cahaya yang terlalu terang maupun terlalu gelap, tetapi lebih suka pada keadaan cahaya lemah (15-30 lux). Selain itu, untuk pertumbuhan ulat diperlukan udara yang bersih dan segar. Katsumata (1964), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
Pemeliharaan ulat sutera agar berhasil perlu memerlukan beberapa faktor yaitu faktor makanan, lingkungan, ruangan, alat-alat pemeliharaan, jenis ulat dan pengetahuan tentang cara pemeliharaan yang baik dan benar-benar dikuasai.
2.2.3 Kokon
Ulat-ulat sutera yang telah mengalami pergantian kulit empat kali dan makan daun murbei cukup, maka kelenjar suteranya tumbuh menjadi besar dan isibadannya sebagian besar tediri atas kelenjar tersebut. Karena itu, badan ulat sutera tembus cahaya dan dari mulutnya mulai mengeluarkan serat sutera. Ulat sutera yang demikian dikatakan sebagai ulat sutera yang siap mengokon. Katsumata (1964), dalam Atmosoedarjo, dkk (2000).
Kokon ulat sutera merupakan pelindung pupa yanmg terbuat dari serat-serat sutera yang dijalin oleh larva bila hendak membentuk kepongpong atau pupa. Agar pengokonan berjalan dengan baik, ulat perlu disediakan tempat khusus sebagai tempat menempelnya kokon.
2.3 Hipotesis
H0 : Varietas murbei (Morus sp) sebagai pakan ulat sutera (Bombyx mori L) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kokon.
H1 : Varietas murbei (Morus sp) sebagai pakan ulat sutera (Bombyx mori L) berpengaruh nyata terhadap produksi kokon.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang akan digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 6 (enam) kali ulangan dan setiap unit percobaan terdiri dari 100 ekor ulat sutera Bombyx mori L. Sebagai perlakuan adalah pakan ulat sutera yaitu daun murbei yang terdiri dari:
a) Kontrol (Campuran) (P0)
b) M. multicaulis (P1)
c) M. cathayana (P2)
Teknis analisais Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model matematika yaitu sebagai berikut:
ỵij = µ + αi + εij
ỵij = Pengaruh perlakuan ke i ulangan ke j
µ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan ke i
εij = Galat percoabaan pada perlakuan i dengan ulangan ke j
3.1.1 Parameter yang diamati
Parameter yang akan diamati dalam melakukan penelitian ini ialah sebagai berikut:
a) Persentase kematian ulat kecil (instar I - III) adalah jumlah ulat yang mati dibagi jumlah ulat instar I – III kali 100%.
b) Persentase kematian ulat besar (instar IV - V) adalah jumlah ulat yang mati dibagi jumlah ulat instar IV - V kali 100%.
c) Persentase rendemen pemeliharaan adalah jumlah hasil kokon dibagi jumlah ulat yang dipelihara dari awal instar IV kali 100%.
d) Berat kokon basah adalah berat kokon seluruhnya termasuk kulit kokon dan pupanya.
e) Berat kulit kokon adalah berat kokon basah yang telah dikeluarkan pupanya.
f) Persentase berat kulit kokon adalah berat kulit kokon dibagi berat kokon basah kali 100%.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya :
a) Alat
1. Ruang pemeliharaan ulat kecil 11. Jaring
2. Ruang pemeliharan ulat besar 12. Ember
3. Alat pengokonan 13. Baskom
4. Kotak penetasan 14. Saringan
5. Rak inkubasi 15. Tatanan
6. Sasag 16. Pisau
7. Rak ulat kecil 17. Sapu lidi
8. Rak ulat besar 18. Lap
9. Kertas parafin 19. Sandal
10. Sumpit 20. Termometer
b) Bahan
1. Bibit telur ulat sutera
2. Kapur
3. Kaporit
4. Pakan ( Daun murbei).
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kp. Sukadana Rt. 05 Rw. 05 Desa. Wangunjaya Kecamatan. Banjarwangi Kabupaten. Garut (Jawa Barat), pada bulan Februari sampai dengan Maret 2010.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Pemeliharaan
Salah satu pekerjaan yang paling penting dalam mempersiapkan pemeliharaan ulat sutera adalah desinfeksi. Persiapan selanjutnya yaitu penyedian telur atau bibit ulat sutera, persiapan daun murbei sebagai pakan ulat sutera, persiapan sarana dan prasarana, tenaga kerja dan bahan pendukung lainnya.
3.4.2 Penetasan Telur
Penetasan telur ulat sutera atau inkubasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Ruang inkubasi disterilkan dengan menyemprotkan formalin 5%
b) Telur ditetaskan dalam ruangan inkubasi yang gelap selama 3 hari
c) Telur diberikan penerangan dengan sinar matahari selama 6 jam
d) Penetasan dilakukan dalam kotak penetasan
e) Jumlah populasi telur 25.000 butir per boks.
3.4.3 Pemeliharaan Ulat Kecil
Pemeliharaan ulat kecil ialah pemeliaharan ulat mulai dari instar I sampai dengan intar III dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Rumah Ulat Kecil disemprot formalin 5% 2 minggu sebelum pemeliharaan
b) Ulat instar I diberi makan pertama jika telah menetas seluruhnya
c) Ulat kecil dipindahkan pada kotak pemeliharaan yang lebih besar dengan alas kertas parafin
d) Pemberian pakan dilakukan setiap saat pada instar I, II dan III
e) Daun murbei untuk pakan diiris tipis-tipis dan dirajang
f) Daun untuk pakan ulat kecil adalah daun ke 4-7(instar I); daun ke 7-9 (instar II) dan daun ke 9 -11 (instar III)
g) Desinfeksi pada tubuh ulat dilakukan setiap pergantian kulit
h) Pada saat ulat tidur pada perpindahan instar dilakukan sanitasi ruangan
i) Pemindahan ulat dilakukan pada saat ulat tidur.
3.4.4 Pemeliharaan Ulat Besar
a) Rumah Ulat Besar disterilkan dengan menyemprotkan formalin 5% pada seluruh ruangan berikut dindingnya 2 minggu sebelum pemeliharaan
b) Ulat besar dimulai dari instar IV
c) Mulai instar IV pakan diberikan daun murbei secara utuh.
d) Pemberian pakan tidak dilakukan diberikan setiap saat jika tampak ulat lapar.
e) Pakan untuk ulat instar ke IV dan V adalah seluruh daun, kecuali pucuk (daun ke 1-3)
f) Pemberian pakan lebih banyak dilakukan malam hari.
g) Desinfeksi tubuh ulat dilakukan pada saat pergantian kulit
h) Jumlah pakan yang diberikan setiap saat meningkat sesuai dengan perkembangan tubuh ulat.
i) Pada instar V pakan yang diberikan dapat daun utuh atau dengan rantingnya.
3.4.5 Pengokonan
a) Ulat mengokon pada hari ke-8 instar V
b) Pengokonan dilakukan pada alat pengokonan (seriframe)
c) Ciri-ciri ulat mau mengokon adalah tubuh ulat sudah transparan dan tidak makan lagi
d) Ulat mengokon ada yang naik sendiri pada alat pengokonan (seriframe), tetapi ada pula yang perlu dibantu diletakan pada seriframe
e) Pengokonan terjadi selama 3 hari.
3.4.6 Panen Kokon
a) Panen kokon dilakukan setelah 5 hari mulai mengokon
b) Kokon terasa keras jika dipegang
c) Kokon dikeluarkan dari seriframe dengan cara dikorek dengan bambu atau kayu tipis.
3.5 Analisis Data
Data yang telah didapatkan dari hasil pengujian, kemudiaan dianalisis menggunakan uji F (ANOVA) dan jika antar perlakuaan terjadi perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji BNT.
Denah satuan percobaan (lay out percobaan)
No Bilangan acak Rengking Perlakuan
1 0.749 6 P0 1 2 3 4 5 6
2 0.563 10 P1 12 11 10 9 8 7
3 0.861 8 P1 13 14 15 16 17 18
4 0.962 5 P0
5 0.322 14 P2 P0 P1 P1 P0 P2 P1
6 0.005 7 P1 P0 P2 P0 P2 P2 P1
7 0.351 9 P1 P2 P0 P1 P0 P1 P2
8 0.265 17 P2
9 0.362 15 P2
10 0.051 2 P0
11 0.980 18 P2
12 0.960 1 P0
13 0.994 16 P2
14 0.326 3 P0
15 0.431 12 P1
16 0.758 4 P0
17 0.382 11 P1
18 0.677 13 P2
IV. JADWAL PELAKSANAAN
No Jenis Kegiatan Bulan
Desember Januari Februari Maret
1 Penyusunan Proposal
2 Seminar Proposal
3 Pelaksanaan TA
4 Penulisan Laporan TA
5 Seminar Laporan TA
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1984. Teknik Pemeliharaan Ulat sutera. Bandung: Balai Informasi Pertanian.
Anonim. 2001. Budidaya Murbei dan Budidaya Ulat Sutera. Candiroto: PPUS Candiroto.
Atmosoedarjo, H. Soekiman, dkk. 2000. Sutera Alam Indonesi. Jakarta : Yayasan sarana Wana jaya.
Nazarudin, Nurcahyo. 1992. Budidaya Ulat Sutera. Jakarta: Penebar Swadaya.
Samsijah, Andadari. 1992. Petunjuk Teknis Budidaya Murbei (Morus sp.). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor.